Banyak negara di dunia ini memiliki sejumlah jenis makanan eksotik. Salah satu makanan eksotik yang begitu terkenal di dunia lantaran dianggap sangat menyeramkan itu, adalah balut asal Filipina.
Oleh karena itu, saat saya berlibur ke Davao bulan Agustus 2012 lalu, saya pun menyempatkan untuk mencicipi balut yang di kalangan turis dianggap menyeramkan itu.
Salah seorang turis asal Amerika, Michael, kendati badannya tinggi dan besar, saat disodori balut, wajahnya langsung menyiratkan rasa takut. Reaksi ini memang bisa dipahami lantaran balut adalah telur bebek berisi embrio.
Dalam hal ini, telur bebek tersebut sempat dierami tapi tidak untuk ditetaskan. Umumnya, telur bebek butuh 32 hari untuk menetas menjadi anak bebek. Namun, untuk membuat balut, proses embriogenesis hanya dilangsungkan antara 15-19 hari.
Jadi, bisa dibayangkan, pemakan balut itu adalah pemakan janin...Seram juga, sih. Tidak heran, memakan balut bagi sebagian orang di luar Filipina memang sangat menyeramkan dan menimbulkan rasa teror sehingga tidak banyak turis yang berani untuk menerima tantangan memakan balut tersebut.
Namun, saya penasaran dan beberapa kawan warga lokal menantang saya untuk memakan telur 'teror" tersebut. Oleh karena itu, meski agak takut, saya beranikan diri untuk mencicipi makanan eksotik tersebut. Kendati untuk menyantapnya demi mengurangi rasa seram, saya terpaksa menutup mata karena tidak mau melihat embrio yang berada di dalam telur yang berumur 15 hari tersebut. Saya sengaja memilih yang usia telur yang termuda (15 hari) untuk mengurangi sensasi "teror" balut yang selama ini saya baca dan dengar.
Soalnya, jujur saja, saya juga merasa agak ngeri saat membayangkan bahwa balut itu adalah bayi bebek. Saya sempat ingin mundur, tetapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Lagi pula, ini adalah perjalanan budaya. Bagaimana bisa merasakan budaya Filipina jika saya tidak langsung mencoba tradisi ternama di Filipina tersebut. Akhirnya, seraya menutup mata, saya pun menyuapkan balut tersebut ke dalam mulut saya. Kendati biasanya balut dihidangkan bersama air cuka yang berisi irisan bawang putih dan cabai rawit, saya memilih untuk tidak membumbuinya karena tidak ingin kehilangan rasa asli. Ternyata, setelah saya lumat, rasa balut itu sendiri sama dengan telur rebus. Setidaknya saat saya mencoba itu, tidak ada rasa yang aneh pada balut tersebut. Juga, saat dikunyah, balut tersebut terasa lembut di lidah. Saat itu penulis sama sekali tidak merasakan sedang mengunyah embrio bebek. Rasanya benar-benar seperti telur rebus biasa.
Kata Marilyn, salah seorang warga Davao, ini terjadi lantaran telur yang saya konsumsi itu masih belum sepenuhnya cukup umur untuk disebut balut. Oleh karena itu, bakal sayap dan kaki pada embrio ayam atau bebek, masih sangat lembut (belum bertulang).
Jadi, jika ingin merasakan sensasi teror balut sebenarnya, maka, kata Marilyn yang lulusan Sekolah Perhutanan itu, balut yang dikonsumsi haruslah telur yang sudah diinkubasi selama 19 hari. Di usia ini, embrio dalam telur ayam atau bebek sudah memiliki tulang sehingga saat dikonsumsi pun agak keras. Saat Marilyn menantang saya kembali untuk mencoba balut sejati, saya langsung menggelengkan kepala. Jujur saja, kali ini perasaan seram mengalahkan segalanya. Bagi saya, makan balut "setengah jadi" sudah merupakan pengalaman luar biasa dan tak akan terlupakan.