Makan
adalah soal cara. Kita semua menyebutnya sebagai nasi. Namun ketika ia
dimasukkan dalam bambu dan dibakar, kita menyebutnya nasi bakar. Bila ia
dibungkus daun jati, Orang Cirebon menyebutnya nasi jamblang. Dibungkus
selagi hangat dengan daun pisang muda lain lagi namanya: nasi timbel.
Dibungkus sejumput-kecil di Bali disebut nasi jinggo. Di Tegal orang
bilang nasi ponggol, di Kudus orang menyebut Nasi Gandul, di Pekalongan
di sebut Nasi Megono. Lain lagi Wong Solo, Wong Jogja dan Wong Klaten,
inilah yang populer sebagai Nasi Kucing.
Nasi
kucing bisa kita dibeli di sepanjang jalan di Solo dan Jogja. Di
sudut-sudut gang, setiap ada keramaian tak pelak lagi, mereka pasti
sedang lek-lekan, keplek ilat menyantap nasi kucing—hati-hati, karena
sebagian lagi tak menyantap nasi kucing tapi Ciu Bekonang. Di Solo nasi
kucing dijual di hik, sedang bila di Jogja dijajakan di gerobak Angkringan.
Bentuknya sama: nasi sekepal dibungkus daun pisang dengan lauk sambal
bandeng atau oseng tempe. Dijual dalam gerobak yang mangkal di
tempat-tempat strategis. Selain gerobak penjual menyediakan satu kursi
panjang di depannya.
Kita
dapat makan secara swalayan. Di sudut kanan gerobak ada perapian, untuk
menjerang tiga teko. Satu berisi air putih, satu berisi wedang jahe,
satu lagi berisi teh kental—karena itu sebagian orang menyebut ‘Cafe Ceret Telu’.
Di sebelah perapian dihamparkan macam-macam lauk dan jajanan: tempe dan
tahu goreng, tempe dan tahu bacem, macam-macam sate semenjak sate usus,
sate telur puyuh bacem, sate keong, sate kulit, sate (tempe) gembus,
dan sate gajih sandung lamur.
Masih
ada jajanan: lentho, timus, combro—tanpa oncom, dan peyek. Kemudian
paling kiri ditata nasi kucing bertumpuk rapi. Anda perlu sedikit jeli,
karena ada sejumlah pedagang hik yang menyediakan didih—darah yang
dibekukan dan digoreng. Tak perlu khawatir, di Solo toleransi ummat
cukup tinggi—di samping pengonsumsi didih memang cukup banyak. Meski di
jalan-jalan di jual rica-rica dan sate jamu—sate babi, tak pernah ada
masalah. Anda cukup mengetahui mana yang boleh dimakan. Penjual tak
memaksa dan tak bermaksud menjebak.
Tak
perlu khawatir kursi bangku tak dapat memuat pengunjung. Karena
pedagang nasi kucing telah menyediakan berlembar-lembar tikar di sebelah
gerobak. Bila angkringan mangkal di mulut gang, maka anda dapat makan
di pinggir jalan. Benar-benar di pinggir jalan, sehingga pejalan kaki
hanya berjarak satu-dua meter dari nasi kucing yang sedang anda buka.
Sebagian pembeli bahkan tak suka duduk di kursi angkringan. Mereka lebih
suka duduk di tikar. Menghabiskan malam dengan bercengkerama dengan
kawan-kawan. Makanya, makan nasi kucing kurang dari tiga peserta tak
afdol. Bersama lima orang dianjurkan.
Lalu,
mengapa nasi kucing, hik, dan angkringan? Ini ada ceritanya. Disebut
nasi kucing karena porsi dan lauknya persis seperti kita akan memberi
makan kucing di rumah. Lalu hik. Suku kata yang unik karena tak ada
dalam kamus bahasa jawa, dan hebatnya lagi, tak ada artinya yang pasti.
Sebagian mengartikan hik sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Saya katakan
pada anda: jangan percaya pada tesis ini. Makna hik paling kuat yang
saya dapat bersumber dari sejarah panjang tradisi kuliner ini.
Idiom
hik bersumber dari lagu rakyat yang dinyanyikan pada malem selikuran,
tanggal 21 bulan puasa pada zaman Susuhunan Paku Buwono X: ting-ting
hik, jadah, jenang, wajik, ojo lali tinge kobong (lampu-lampu minyak
hik, jadah, jenang, wajik (nama-nama jajanan pasar—mpep), jangan lupa
lampunya terbakar—mpep). Lagu ini memiliki makna religius yang dalam,
penuh perlambang.
Ting
adalah lambang dari riwayat Kanjeng Nabi Muhammad SAW setelah turun
dari Jabal Nur di malam Lailatul Qadar. Nabi disambut gembira oleh
sahabat dengan menyalakan obor di mana-mana. Jadah, jenang, wajik
merupakan jajanan pasar yang enak melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Sedang ojo lali tinge kobong memiliki makna mengingatkan akan bahaya
kebakaran. Hik sendiri tidak memiliki makna religius apa-apa. Ia menjadi
identitas penjual warung angkringan yang semula menjajakan makanannya
dengan berkeliling kampung mendorong gerobak memikul tenong (trims Mas
Santo koreksinya–mpep) sambil berteriak hiiiikk…hiiikk….
Dalam
perkembangannya pedagang hik tidak lagi menjajakan dagangannya tetapi
menetap di suatu tempat-tempat yang biasanya strategis dan ramai.
Penjual nasi kucing yang dianggap pionir dalam sejumlah literatur
sebagai penjual nasi kucing yang mangkal adalah Pak Man. Pak Man biasa
mangkal di dekat Stasiun Tugu Jogja.
Hingga kini angkringan Pak Man—yang diganti anaknya Lik Man—masih ramai
dikunjungi orang. Menu istimewanya kopi jos. Kopi kental manis yang
diberi arang membara. Joss…
Menurut
penelitian mahasiswa UGM yang terinspirasi karena menjadi pelanggan
setia Lik Man, arang ternyata berfungsi menyerap kafein dari kopi.
Sehingga kopi jos direkomendasikan baik untuk kesehatan. Meski demikian,
seorang teman saya, seorang dokter sama sekali tak menyarankan untuk
mencicipi kopi yang diberi arang. Soalnya arang kabarnya bersifat
karsinogen. Sekarang, semua terserah anda.
Lalu
di Jogja disebut angkringan karena demikian egaliternya warung rakyat
ini pengunjung dapat meng-angkring-kan kakinya (mengangkat kakinya
sambil duduk di kursi). Ukuran kesopanan di warung angkringan adalah
tenggang rasa dan tepa selira dengan sesama pengunjung lainnya. Istilah
angkringan lebih banyak digunakan di daerah Jogja. Sedang hik digunakan
di daerah Solo meskipun bentuk, dan karakteristiknya sama persis.
Pada
awalnya nasi kucing hanya dijual di wilayah Solo dan Jogja. Karena
cukup bersahabat dengan kocek mahasiswa, nasi kucing merambah hingga ke
Salatiga dan Semarang yang tak punya tradisi hik dan angkringan. Nasi
kucing juga dapat anda temukan di Purwokerto. Nasi kucing memang makanan
anak kos. Di masa-masa krismon saat Reformasi 1998, banyak mahasiswa
yang disambung hidupnya dari dua pincuk nasi kucing. Namun nasi kucing
tak identik mahasiswa.
Kini
nasi kucing telah menyebar di seantero Jawa Tengah. Semenjak Solo ke
timur hingga Ngawi, dan Magetan. Dari Jogja ke barat melintasi
Purworejo, Kebumen, Purbalingga, hingga Tegal.
0 comments:
Posting Komentar